Menggugat Pembantaian Rawagede
Dia sudah cukup renta. Pada usia 87 tahun, dengan geligi tandas dan
langkah agak limbung, Saih bin Sakam menyimpan kenangan buruk itu. Dia
bersyukur, selamat dari pembantaian keji Belanda di Rawagede, Karawang,
Jawa Barat, 64 tahun silam. Tapi Saih tak pernah lupa.
Dengan sisa kekuatannya—bahkan untuk memakai sepatu dia harus
dibantu orang lain, Saih pergi ke Belanda pada November tahun lalu.
Junito Drias dari Radio Nederland, sempat merekam lawatan Saih ke negeri
yang pernah merampas hidup keluarganya itu. “Saya tak dendam,” ujar
Saih. Wajahnya penuh kerut. Pecinya sedikit melorot.
Mengenang kembali proklamasi Republik Indonesia 66 tahun silam,
tentu kisah Saih ini patut kembali disimak. Dia adalah saksi dari
pembantaian keji, sebuah kejahatan perang Belanda di Indonesia: 431
warga Rawagede tumpas. Termasuk ayah, dan kawan-kawan Saih.
Sebagai saksi tragedi Rawagede, Saih ingin menuntaskan hal
mengganjal itu dalam sisa hidupnya. “Daripada kepikiran terus, yang
penting Belanda minta maaf kepada Indonesia,” ujar Saih dalam rekaman
video Radio Nederland itu.
Kisah itu bermula 9 Desember 1947, tatkala Belanda melancarkan
agresi ke republik Indonesia yang masih muda. Sekitar 300 serdadu
Belanda menyerbu Rawagede, kampung petani miskin yang jadi basis
gerilyawan republik.
Dipimpin Mayor Alphons Wijnen, ratusan serdadu Belanda menyisir desa
itu. Tak satu pun jejak gerilyawan ditemukan. Warga juga bungkam. Murka
oleh pembangkangan itu, Wijnen memaksa semua lelaki di atas 15 tahun
berkumpul di lapangan. Matahari belum tinggi saat itu. Warga pun
berbaris di lapangan.
Para serdadu itu tiba-tiba mengokang senjata. Lalu,
trat-tat-trat-tat. Peluru melesat, ratusan warga roboh bersimbah darah.
Ada yang mencoba lari, tapi peluru laknat itu lebih cepat ketimbang
kaki-kaki kurus para petani.
Saih bin Sakam lolos dari maut. Dia hanya terluka di punggung, dan
tangan. Kepada Radio Nederland, Saih menunjukkan bekas luka tembak itu.
“Diberondong peluru di badan seperti ini”, ujar Saih. Di punggung, ada
bekas lingkaran hitam. “Belum puas kali, maka saya ditembak lagi di
bagian tangan,” ujar Saih.
Menurut dia, korban pembantaian hari itu hanya kaum lelaki.
Kebanyakan pemuda. Para perempuan dan anak-anak, selamat. (Baca detil
kisah pembantaian di Yang Terserak di Rawagede)
Mencari Lukas
Apa yang dicari Belanda di Rawagede? “Mereka mencari Kapten Lukas
Kustario,” ujar sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Dr
Baskara Wardaya kepada VIVAnews, pekan lalu di Yogyakarta. Lukas adalah
komandan kompi Siliwangi .
Dijuluki “Begundal Karawang”, Lukas memang orang paling diuber
Belanda. Ulahnya memusingkan. Dia kerap menyerang pos militer. Dia
memimpin pasukannya membajak kereta api, menggasak senjata, dan amunisi
kumpeni.
Rawagede sendiri adalah jalur lintasan para gerilyawan. Berbagai
laskar rakyat singgah di sana. Juga para begundal dan perampok.” Lukas
adalah target Belanda,” kata Baskara. Rakyat Rawagede sendiri membela
gerilyawan itu.
Itu sebabnya, kata Baskara, mereka bungkam. Karena bungkam itu,
Belanda marah. “431 orang dibunuh. Ada beberapa yang lolos, dan
pura-pura mati. Mereka lalu menceritakan peristiwa itu,” kata Baskara
menambahkan.
Saih pergi ke Belanda atas undangan Komite Kehormatan Utang Belanda.
Dia sebetulnya ingin bertemu Ratu Belanda saat ini, Beatrix.
“Kepinginnya sih Ratu bertemu, dan minta maaf. Tapi yang penting,
berjabat tangan. Kita kan juga berterima kasih, dan saya memaafkan,”
kata Saih. Sayang, untuk alasan yang kurang jelas, Ratu Beatrix menolak
bertemu Saih.
Selain Ratu Beatrix, Saih juga ditampik oleh parlemen Belanda dari
Komisi Luar Negeri. Tak jelas juga alasannya. Namun ada yang melegakan:
Saih boleh bercerita kepada anak-anak sekolah di Kota Gronigen, Belanda
Timur Laut.
Kepada anak-anak SD, Saih bercerita bahwa dia tak akan menggugat
tentara Belanda. Dia ingin Belanda minta maaf kepada Indonesia, dan
membayar ganti rugi. Para pelajar itu terperanjat. Mereka tak menyangka
Belanda pernah sekejam itu.
Kadaluwarsa?
Tapi, belum lagi sampai cita-citanya itu, Saih bin Sakam meninggal
pada 7 Mei 2011. Dialah korban terakhir tragedi Rawagede yang masih
hidup sampai abad ke-21. Dia pergi, justru saat Belanda mulai membuka
kasus itu di pengadilan.
Para kerabat korban pembantaian itu terus melaju (Lihat kronologinya
di Infografik: Banjir Darah di Rawagede). Pada 20 Juni 2011, mereka
menuntut Belanda, melalui pengadilan di Den Haag. Tujuannya, Belanda
harus mengakui adanya pembantaian, meminta maaf, dan memberi ganti rugi.
Meski tak disuarakan resmi, Pemerintah Indonesia kabarnya mendukung langkah korban pembantaian Rawagede itu.
Dukungan pemerintah itu diungkapkan Ketua Yayasan Rawagede Sukarman
kepada VIVAnews, di Rawagede, Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta,
Karawang pekan lalu. Sukarman adalah cucu salah satu korban. Ia telah
bolak-balik ke Den Haag mengikuti proses pengadilan kasus Rawagede di
Pengadilan Belanda.
Menurut Sukarman, sebelum menggugat ke Belanda 15 Agustus 2008 lalu,
mereka meminta izin ke Komisi I dan Komisi III DPR, serta ke MPR. “Kami
juga diundang ke Departemen Luar Negeri, dan langsung dihubungkan ke
Biro Eropa. Mereka katakan, lanjutkan tuntutan itu,” ujar Sukarman.
Selama proses gugatan itu pun, Sukarman dibantu oleh Kedutaan Besar
Republik Indonesia (KBRI) di Belanda. Sidang kasus itu dibuka 20 Juni
2011. Penggugat adalah sanak saudara korban Rawagede. Tergugat adalah
pemerintah Belanda.
Perang argumen pun muncul di meja hijau. Pengacara pengugat adalah
Liesbeth Zegveld. Dia aktif membela kasus hak-hak azasi manusia
internasional, termasuk kejahatan kemanusiaan di Srebrenica, Bosnia.
Di sidang itu, Zegveld bercerita seperti halnya kesaksian Saih bin
Sakam. Komite Utang Kehormatan Belanda juga menuntut ganti rugi bagi
korban Rawagede. Ada juga sengketa soal jumlah korban. Penggugat
mengatakan yang tewas 431 orang. Belanda dalam Nota Ekses 1969,
mengatakan hanya 150 orang.
Selain itu, fakta baru diajukan oleh penggugat, berupa dokumen
korespondensi. Disebutkan, para petinggi Belanda tak meragukan Wijnen
bersalah. Jenderal Simon Spoor menulis surat kepada jaksa agung, bahwa
Pengadilan Militer akan menghukum Mayor Wijnen. Tapi, Jaksa Agung tak
jadi menggugat Wijnen. Alasannya, kasus itu 'tak ada lagi campur tangan,
dan perhatian asing'.
Zegveld menilai para janda yang suaminya dibunuh militer Belanda di
Rawagede, diperlakukan tak adil. Ini jika dibandingkan korban kejahatan
perang dunia kedua terhadap Yahudi. Hak mereka sebagai korban perang
dunia kedua diakui, dan menerima ganti rugi. “Ada kebiasaan Belanda tak
menolak tuntutan korban perang dunia kedua hanya karena kadaluwarsa.
Kebijakan ini juga harus berlaku bagi janda dari Rawagede,” ujar
Zegveld, seperti dikutip Radio Nederland.
Sebelumnya, pengacara Belanda GJH Houtzagers mengatakan kasus
pembunuhan oleh serdadu Belanda itu sudah kadaluwarsa. Lagipula, korban
selamat terakhir, Saih bin Sakam, telah meninggal Mei lalu. Houtzagers
juga memberi argumen lain. Katanya, ada kesepakatan Belanda dan
Indonesia pada 1966. Isinya, kedua pihak setuju mengakhiri sengketa
keuangan.
Houtzagers mengingatkan Indonesia dan Belanda kini bekerjasama dalam
banyak hal. “Belanda membantu tak saja desa Rawagede, tapi juga wilayah
lain. Kedua negara memandang ke depan, membangun masa depan bersama,
dan bukan melihat masa lalu,” kata Houtzagers.
Pintu ke kasus lain
Yang menarik, kata Zegveld, jika kasus Rawagede menang di
pengadilan. Dampaknya positif bagi korban aksi militer Belanda lainnya
di Indonesia. Mereka bisa menuntut ganti rugi juga.
“Kami ingin memberi tahu kepada masyarakat Belanda kejadian
sebenarnya. Ini bukan kasus Rawagede saja. Di Sulawesi Selatan ada
pembantaian Raymond Westerling, ada juga kasus Kaliprogo di Jawa Tengah,
Gerbong Maut di Bondowoso, dan sebagainya”, kata Jeffry Pondaag dari
Komite Utang Kehormatan Belanda.
Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda, Batara R Hutagalung sepakat.
Dia mengatakan banyak aksi pembantaian Belanda sekitar 1945-1950 di
Indonesia yang tak terungkap di dunia internasional. Ironisnya, Mahkamah
Kriminal Internasional (ICC) justru bermarkas di Den Haag, Belanda.
Batara yakin, jika Belanda konsisten, maka kasus ini bisa menang.
Dia mengajukan contoh. Dua tahun lalu, ada bekas tentara Jerman dijatuhi
hukuman seumur hidup. Dia membantai empat warga sipil di Belanda semasa
perang. “Dia dihukum karena membunuh empat orang. Maka logikanya, yang
membantai puluhan ribu bisa dimajukan ke pengadilan internasional. Itu
sebabnya kami mengajukan kasus Rawagede,” kata Batara kepada VIVAnews.
Berhasilkah gugatan dari Rawagede? Hakim Pengadilan Den Haag
mengatakan masih mempelajari pleidoi kedua pihak. Mereka segera memberi
putusan dalam waktu 90 hari, atau pertengahan September 2011 ini
sumber :http://selokartojaya.blogspot.com/2011/08/menggugat-pembantaian-rawagede.html
http://www.zazzle.com/travelling_map_shirt-235763720228535283?
9 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar