Pages

Sabtu, 22 September 2012

Sejarah Istana Negara



Istana Negara dibangun tahun 1796 untuk kediaman pribadi seorang warga negara Belanda J.A van Braam. Pada tahun 1816 bangunan ini diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda dan digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta kediaman para Gubernur Jendral Belanda. Karenanya pada masa itu istana ini disebut juga sebagai Hotel Gubernur Jendral.

Pada mulanya bangunan yang berarsitektur gaya Yunani kuno itu bertingkat dua, namun pada tahun 1848 bagian atasnya dibongkar, dan bagian depan lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Bentuk bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang, tanpa perubahan yang berarti. Luas bangunan ini lebih kurang 3.375 meter persegi.
Sesuai dengan fungsi istana ini, pajangan serta hiasannya cenderung memberi suasana sangat resmi. Bahkan kharismatik. Ada dua buah cermin besar peninggalan pemerintah Belanda, disamping hiasan dinding karya pelukis - pelukis besar, seperti Basoeki Abdoellah.
Banyak peristiwa penting yang terjadi di Istana Negara. Diantaranya ialah ketika Jendral de Kock menguraikan rencananya kepada Gubernur Jendral Baron van der Capellen untuk menindas pemberontakan Pangeran Diponegoro dan merumuskan strateginya dalam menghadapi Tuanku Imam Bonjol. Juga saat Gubernur Jendral Johannes van de Bosch menetapkan sistem tanam paksa atau cultuur stelsel. Setelah kemerdekaan, tanggal 25 Maret 1947, di gedung ini terjadi penandatanganan naskah persetujuan Linggarjati. Pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir dan pihak Belanda oleh Dr. Van Mook.
Istana Negara berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara, diantaranya menjadi tempat penyelenggaraan acara - acara yang bersifat kenegaraan, seperti pelantikan pejabat - pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah, dan rapat kerja nasional, pembukaan kongres bersifat nasional dan internasioal, dan tempat jamuan kenegaraan.
Sejak masa pemerintahan Belanda dan Jepang sampai masa pemerintahan Republik Indonesia, sudah lebih kurang 20 kepala pemerintahan dan kepala negara yang menggunakan Istana Negara sebagai kediaman resmi dan pusat kegiatan pemerintahan Negara.
(Istana Kepresidenan RI, Sekretariat Presiden RI,2004)

Kamis, 20 September 2012

Kejamnya Hukuman Zaman Batavia


kSalah satu tempat yang sering mendapat perhatian di Museum Sejarah Jakarta adalah ruangan yang terdapat di halaman belakang. Dulu ruangan-ruangan ini gelap dan ditutup dengan pintu kuat. Cahaya dan sirkulasi udara hanya melalui sebuah jendela berteralis tebal. Di sisi-sisi tembok terdapat bola-bola besi untuk merantai para tahanan. Sebelum menjadi museum, pada zaman Hindia Belanda memang gedung ini dipakai sebagai balai kota atau stadhuis.
Sebenarnya tempat tahanan terdapat pula di lokasi-lokasi lain. Hanya bukti-bukti fisiknya kurang mendukung. Mungkin dirobohkan lalu diganti bangunan baru. Berapa jumlah tahanan ketika itu, tidak diketahui pasti. Ada berbagai alasan mengapa orang-orang ditahan di tempat ini. Diketahui sampai 1763 orang yang tidak bisa membayar hutang, ditahan seumur hidup. Baru di tahun-tahun berikutnya lama penahanan diubah menjadi enam tahun. Pada 1778 hukuman kurungan enam tahun ini untuk bukan orang China diubah lagi, tapi tak ada data jelas berapa lama hukumannya.
Pada 1736 di dalam penjara sipil terdapat 64 sandera, 40 tahanan, dan 333 budak. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang penjara. Hanya pada 1774 dikatakan di dalam sel penjara masih ditahan 2 sandera, 7 tahanan, dan 23 budak. Istilah sandera dimaksudkan untuk orang yang belum membayar pajak sementara budak adalah titipan para juragan kaya yang membayar jumlah tertentu kepada sipir penjara.
Penyiksaan
Soal hukuman, sebenarnya sejak 1602 VOC sudah dibebani pekerjaan untuk menanggulangi hukum dan peraturan. Pada awalnya tidak ada masalah karena yang terlibat hanya pegawai sendiri. Namun kemudian Batavia menjelma menjadi kota yang multietnis, sehingga membingungkan VOC untuk menerapkan hukum yang mana. Pada 1621 diambil keputusan bahwa semua hukuman dan aturan yang berlaku di Republik juga berlaku di Hindia.
Ahli hukum dan Gubernur Jendral Joan Maatsuycker pada 1640 ditugaskan untuk menyusun secara sistematis hukum kolonial. Dia menyatukan semua undang-undang, ordonansi, tradisi, dan aturan. Karya ini dikenal sebagai Bataviasche Ordonnanties (Dari Stadhuis Sampai Museum, 2003).
Menurut undang-undang tersebut, terdakwa yang telah ditangkap sambil menunggu keputusan, akan dimasukkan ke dalam penjara. Kecuali kalau ada orang mengamuk, dia akan dibunuh di tempat. Kalaupun dia ditangkap, akan dihukum dengan mematahkan semua anggota badannya di atas roda.
Undang-undang Belanda menentukan bahwa seseorang hanya dapat dihukum, jika dia telah mengaku. Namun untuk memperoleh pengakuan, sering kali terdakwa disiksa terlebih dulu. Dalam balaikota terdapat satu kamar penyiksaan, namun tidak jelas kamar yang dipakai.
Umumnya orang dihukum karena perbuatan kecil, seperti mencuri, memfitnah, mabuk, atau berkelahi. Ada juga yang melanggar aturan VOC seperti tidur pada jam jaga dan tidak hadir tanpa izin. Hukuman yang ringan adalah membayar denda. Yang lebih berat berupa pemecatan, penahanan seluruh gaji, dan pengembalian terdakwa ke Belanda.
Kerja paksa dan pengasingan
Di tahun-tahun awal kekuasaan VOC, keputusan hukum dilakukan oleh Gubernur Jendral dan Dewan Pemerintahan. Karena semakin hari tugas mereka semakin banyak, maka mulai 1620 tugas tersebut diwakilkan kepada Dewan Pengadilan. Namun pemerintah pusat masih memegang hak untuk memberikan grasi. Eksekusi hukuman mati juga hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pemerintah pusat.
Sayang pengetahuan Dewan Pengadilan tentang hukum dianggap masih kurang. Untuk itu berkali-kali tenaga dari Belanda dikirimkan ke sini. Baru setelah 1656 hampir semua anggota Dewan Pengadilan adalah ahli hukum. Dewan ini bertugas menangani semua persoalan kriminal dan sipil di Batavia.
Setelah itu hukum menjadi ketat. Bukan hanya perkara kriminal, pencemar nama baik juga kena hukum. Bentuk hukumannya dengan memasukkan terdakwa ke dalam kerangkeng besi, lalu dipajang di depan Gedung Balaikota. Buat terdakwa militer, dia harus duduk berjam-jam di atas ”kuda kayu”, yakni sebuah rak kayu dengan permukaan yang tajam. Sementara dia duduk, kaki-kakinya dipasangi pemberat. Tentu saja malunya itu luar biasa, jadi objek tontonan banyak orang sambil diledek ”mau ke mana nih” atau ”tolong antarkan surat ini yah”.
Hukuman yang lebih berat untuk tentara adalah ”ayunan”. Terdakwa diikat pada kaki dan tangan lalu ditarik ke atas. Dari atas dia dibiarkan jatuh bak pemain sirkus namun tidak sampai menyentuh lantai.
Pada abad ke-17 dan ke-18 belum ada hukuman penjara, dalam arti harus menempati sel selama jangka waktu tertentu. Namun sejak 1641 sudah terdapat penjara bagi wanita yang antara lain melakukan prostitusi, bertengkar dengan pasangan, dan berbuat keji terhadap budak. Mereka dikurung dan diwajibkan memintal benang untuk biaya hidup mereka.
Hukuman yang paling umum bagi orang Eropa dan Asia adalah siksaan dan kerja paksa dengan dirantai selama beberapa bulan sampai sepuluh tahun. Hukuman tambahan adalah ”cap badan” sebagai tanda bagi polisi untuk mendeteksi para residivis sampai potong kuping.
Mereka yang mendapat kerja paksa biasanya ditugaskan mengeruk kanal-kanal atau bekerja di pabrik pembuatan tali-temali. Pada 1705 kamp tahanan kerja paksa dipindahkan ke Pulau Edam (Damar). Sampai 1795 kamp ini masih berdiri dan kemudian dikosongkan karena khawatir serangan Inggris.
Hukuman lain adalah pengasingan ke Maluku, daerah yang waktu itu berbahaya bagi kesehatan. Tempat pengasingan lain adalah Ceylon (Srilanka) dan Afrika Selatan.


Eksekusi dan Pemotongan
Hukuman mati di Batavia sangat tinggi. Pada awal abad ke-18, Amsterdam yang memiliki 210.000 penduduk, hanya melakukan lima hukuman mati per tahun. Di Batavia angka ini menjadi dua kali lebih besar, padahal jumlah penduduk hanya 130.000.
Seseorang akan dihukum mati bila membunuh, baik terencana maupun tidak terencana. Begitu juga bila memperkosa atau menculik. Biasanya hukuman mati dilakukan dengan cara pemenggalan, untuk masyarakat sipil dan tembak mati, untuk tentara.
Pada kasus-kasus berat malah ditambah pemotongan anggota badan. Pada kasus paling berat terhukum akan diikat pada roda, semua anggota badan dipukuli agar patah, juga ditusuk di atas tiang besi. Hukum jenis ini memang tergolong kejam karena dia akan meninggal secara perlahan-lahan dengan penderitaan fisik luar biasa.
Hukuman pancung dianggap paling bermasalah karena suatu waktu pernah sang algojo tiba-tiba jatuh sakit. Ketika itu tidak ada penggantinya yang bisa memenggal. Hukuman gantung pernah dilakukan. Namun kemudian digantikan hukuman lain karena dianggap tidak terhormat.
Pada abad ke-17 dan ke-18 kegiatan homoseksualitas dianggap dosa paling berat karena dipandang melanggar perintah Tuhan. Mereka yang ketahuan akan dihukum mati. Kedua pria yang akan dihukum diharuskan berhadapan punggung lalu diikat. Setelah itu dimasukkan ke dalam karung dan ditenggelamkan. Hukuman yang sama diberlakukan untuk orang yang melakukan seks dengan binatang atau sodomi.
Hukum di Batavia benar-benar tidak pandang bulu. Petrus Vuyst, Gubernur di Ceylon (1729-1732) dihukum mati di sini. Gara-garanya dia dianggap sangat kejam terhadap pegawai Kompeni dan penduduk lokal Ceylon. Dia diikat dan didudukkan telanjang di atas kursi. Lalu lehernya ditusuk dengan pisau. Badannya dipotong menjadi empat bagian, dibakar, dan abunya disebar.
Namun pengadilan tetap saja ada yang tidak adil. Sesekali penyalahgunaan kekuasaan dilakukan oleh Gubernur Jendral atau Dewan Pemerintah Harian. Yang paling dikenal adalah kasus Pieter Erberveld, yang dianggap mau memberontak kepada Kompeni.
Pelaksanaan eksekusi dilakukan di sebuah panggung di depan balaikota. Yang lebih ringan dilaksanakan di bagian belakang gedung, dengan cara digantung. Sementara pelaksanaan eksekusi dari Dewan Pengadilan dilakukan di sebuah lapangan di depan kastil.
Pada saat-saat terakhir si terhukum didampingi seorang tenaga rohani yang memimpin doa dari alkitab. Hal ini juga berlaku bagi orang Islam dan China. Diharapkan pada saat terakhir mereka mau mengganti agama dan menjadi Kristen.
Eksekusi biasanya dilakukan pagi hari, setelah lonceng di menara balaikota dibunyikan. Beberapa jam kemudian jenazah dibawa ke lapangan tiang gantung, dipajang di sana pada roda sampai hancur sendiri.
Bagi masyarakat Eropa, eksekusi mati merupakan hiburan. Sebaliknya bagi orang Asia, kematian adalah bentuk pengorbanan manusia.

sumber : http://doks.indonesiakuno.com/kejamnya-hukuman-zaman-batavia/

Situs Astana Gede


Situs Astana Gede atau Situs Kawali merupakan salah satu situs dari masa klasik. Di sini terdapat enam prasasti yang dipahatkan pada batu alam. Keenam prasasti ditulis dengan aksara dan bahasa Sunda Kuno. Dilihat dari paleografi dan bahasanya, diperkirakan berasal dari abad ke-14 Masehi. Selain itu, dari nama-nama yang disebutkan di dalamnya dapat dipastikan berasal dari abad ke-14 Masehi. Menurut naskah Carita Parahyangan yang berasal dari akhir abad ke-16 Masehi, nama-nama itu pernah menjadi raja, yaitu Rahyang Niskala Wastu Kañcana dan Rahyang Dewa Niskala, seperti yang tersebut di dalam prasasti Batutulis Bogor. Sehingga dengan demikian, Rahyang Niskala Wastukencana berasal dari Kawali.
Kawali terletak di Kampung Indrayasa, Desa Kawali, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Menurut cerita rakyat dan babad, di daerah ini terkenal adanya sebuah kerajaan bernama Galuh. Nama itu sendiri sekarang masih melekat pada nama sebuah desa bernama Bojong Galuh, yang juga disebut Karangkamuliaan. Tempat tersebut oleh penduduk dan juga oleh Babad Galuh dianggap sebagai pusat bekas kerajaan Galuh (meskipun belum menampilkan bukti otentik kesejarahan yang primer). Dilihat dari pandangan keagamaan, dalam hal ini agama Hindu, tempat itu sangat baik karena terletak di muara, tempat pertemuan dan aliran sungai Citanduy dan Cimuntur.
Berpijak pada arti katanya yang umum, kawali berarti kuali (alat masak dari tanah). Tentang kedudukan Kawali sebagai pusat pemerintahan, ditegaskan dalam Pustaka Nusantara II/2, yang berisi: “Persemayaman Sang Prabu Wastu Kancana adalah keraton Surawisesa. Ibukota kerajannya bernama Kawali. Pada masa sebelumnya, ayahnya pun bertahta sebagai maharaja di situ juga.”
Pengertian Galuh dan Sunda antara 1333-1482 Masehi harus dihubungkan dengan Kawali, walaupun di Pakuan tentu ada seorang penguasa daerah. Keraton Galuh sudah ditinggalkan atau fungsinya sebagai tempat kedudukan pemerintahan pusat sudah berakhir. Raja yang jelas berkedudukan di kawali adalah Ajiguna Linggawisesa menantu Prabu Linggadewata. Ia menikah dengan Dewi Uma Lestari alias Ratu Santika. Dari perkawinan ini lahir Ragamulya yang kemudian menggantikan ayahandanya dan Suryadewata leluhur raja-raja Talaga. Adik Ajiguna Linggawisesa bernama Pujasari diperistri oleh Patih Srenggana dan menjadi leluhur raja-raja Tanjung Barat yang terletak di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Prabu Ajiguna memerintah tahun 1333-1340 Masehi. Ia sezaman dengan Tribuwonotunggadewi Jayawisnuwardani (1328-1350 M) penguasa Majapahit dan ibunda Hayam Wuruk. Setelah wafat Prabu Ajiguna Linggawisesa dipusarakan di Kiding. Penggantinya adalah Prabu Ragamulya Luhur Prabawa atau Sang Aki Kolot (1340-1350 M). Ia berputera dua orang yaitu Linggabuana dan Bunisora yang kedua-duanya menjadi penguasa di Kawali.




Prasasti Kawali I
Prasasti dipahatkan pada batu alam, berbentuk persegi empat tidak beraturan dengan ukuran: panjang kanan 125 cm, panjang kiri 120 cm, lebar atas 46 cm, lebar bawah 57 cm, serta tebal 10 cm. Prasasti yang diletakkan dalam posisi tidur, bertuliskan pada sisi depan yang berjumlah 10 baris tulisan dan setiap barisnya diberi garis lurus, sedangkan tulisan selanjutnya ditulis pada keempat sisinya. Prasasti Kawali I berisikan: “Inilah tanda bekas beliau yang mulia Prabu Raja Wastu [yang] berkuasa di kota Kawali, yang memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit [di] sekeliling ibukota, yang memakmurkan seluruh desa. Semoga ada penerus yang melaksanakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia.”
Prasasti Kawali II
Prasasti dipahatkan pada batu alam, berbentuk akolade (kwadrat) yang tidak simetris dengan ukuran tinggi: 125 cm dan lebar 80 cm. Prasasti yang diletakkan dalam posisi berdiri ditulis dalam tujuh baris tulisan, diakhiri dengan garis horisontal. Tulisannya tidak serapi Prasasti Kawali I. Prasasti Kawali II berisikan: “Janganlah dirintangi janganlah diganggu yang memotong akan hancur yang menginjak akan roboh.”
Prasasti Kawali III
Prasasti dipahatkan pada batu alam dalam posisi berdiri, tingginya 120 cm. Prasasti yang berjumlah dua baris ini ditulis di bagian tengah prasasti. Prasasti Kawali III berisikan: “Semoga ada yang menghuni di Kawali ini yang melaksanakan kemakmuran dan keadilan agar unggul dalam perang.”
Prasasti Kawali IV
Prasasti dipahatkan pada batu alam dalam posisi berdiri, tingginya 120 cm. Seperti halnya Prasasti Kawali III, tulisannya yang berjumlah dua baris ditulis di bagian tengah prasasti. Prasasti Kawali IV berisikan: “Sang Hyang Lingga Bingba.”
Prasasti Kawali V
Prasasti dipahatkan pada batu alam, dengan ukuran panjang sisi kanan 75 cm, panjang sisi kiri 55 cm, lebar bawah 60 cm, dan lebar atas 113 cm. Tulisan yang terdiri dari satu kata itu ditulis di sebelah kiri garis-garis lurus yang membentuk kotak-kotak. Kotak-kotak yang berjumlah 45 buah (9 x 5 kotak) tersebut seperti kalender (kÏŒlenjer). Di bawah kÏŒlenjer terdapat gambar telapak tangan dan sepasang telapak kaki. Prasasti Kawali V berisikan: “Demikianlah.” Kemungkinan, prasasti ini merupakan prasasti penutup, meskipun prasasti-prasasti lainnya belum dapat diurutkan secara pasti.
Prasasti Kawali VI
Prasasti dipahatkan pada batu alam dengan ukuran: panjang 72 cm dan lebar 62 cm. Prasasti yang ditemukan dalam posisi tidur ditulis dalam 6 baris tulisan. Prasasti Kawali VI berisikan: “Ini peninggalan dari [yang] astiti [dari] rasa yang ada, yang menghuni kota ini jangan berjudi bisa sengsara.” Astiti berasal dari bahasa Sansekerta sthiti yang kemudian menjadi athisti, dan mengalami perubahan lagi menjadi astiti yang berarti tetap, teguh, koko, stabil, tidak bergerak, tidak berubah, kekal.

sumber : kawaliasli.blogspot.com///prasasti-astana-gede | foto diambil dari: wisata.kompasiana.com/////astana-gede-satu-situs-dari-tiga-jaman

Prasasti Blanjong

Prasasti Blanjong (atau Belanjong) adalah sebuah prasasti yang memuat sejarah tertulis tertua tentang Pulau Bali. Pada prasasti ini disebutkan kata Walidwipa, yang merupakan sebutan untuk Pulau Bali. Prasasti ini bertarikh 835 çaka (913 M), dan dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang bernama Sri Kesari Warmadewa.

Prasasti Blanjong ditemukan di dekat banjar Blanjong, desa Sanur Kauh, di daerah Sanur, Denpasar, Bali. Bentuknya berupa pilar batu setinggi 177 cm, dan bergaris tengah 62 cm. Prasasti ini unik karena bertuliskan dua macam huruf; yaitu huruf Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa Bali Kuno, dan huruf Kawi dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Situs prasasti ini termasuk dalam lingkungan pura kecil, yang melingkupi pula tempat pemujaan dan beberapa arca kuno.
Isi prasasti
“Pada tahun 835 çaka bulan phalguna, seorang raja yang mempunyai kekuasaan di seluruh penjuru dunia beristana di keraton Sanghadwala, bernama Çri Kesari telah mengalahkan musuh-musuhnya di Gurun dan di Swal. Inilah yang harus diketahui sampai kemudian hari.”
Berdasarkan isi prasasti tersebut dipastikan prasasti Blanjong dikukuhkan pada tahun 835 Caka (913 M) atas Raja Adipatih Cri Kesari Warmadewa sebagai tanda kemenangan.
{ dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas }
Pilar prasasti Blanjong di Sanur, Bali (913 Masehi).

sumber : http://doks.indonesiakuno.com/prasasti-blanjong/

Foto - Foto Sejarah Indonesia









Menggugat Pembantaian Rawagede

Dia sudah cukup renta. Pada usia 87 tahun, dengan geligi tandas dan langkah agak limbung, Saih bin Sakam menyimpan kenangan buruk itu. Dia bersyukur, selamat dari pembantaian keji Belanda di Rawagede, Karawang, Jawa Barat, 64 tahun silam. Tapi Saih tak pernah lupa.

Dengan sisa kekuatannya—bahkan untuk memakai sepatu dia harus dibantu orang lain, Saih pergi ke Belanda pada November tahun lalu. Junito Drias dari Radio Nederland, sempat merekam lawatan Saih ke negeri yang pernah merampas hidup keluarganya itu. “Saya tak dendam,” ujar Saih. Wajahnya penuh kerut. Pecinya sedikit melorot.

Mengenang kembali proklamasi Republik Indonesia 66 tahun silam, tentu kisah Saih ini patut kembali disimak. Dia adalah saksi dari pembantaian keji, sebuah kejahatan perang Belanda di Indonesia: 431 warga Rawagede tumpas. Termasuk ayah, dan kawan-kawan Saih.

Sebagai saksi tragedi Rawagede, Saih ingin menuntaskan hal mengganjal itu dalam sisa hidupnya. “Daripada kepikiran terus, yang penting Belanda minta maaf kepada Indonesia,” ujar Saih dalam rekaman video Radio Nederland itu.

Kisah itu bermula 9 Desember 1947, tatkala Belanda melancarkan agresi ke republik Indonesia yang masih muda. Sekitar 300 serdadu Belanda menyerbu Rawagede, kampung petani miskin yang jadi basis gerilyawan republik.

Dipimpin Mayor Alphons Wijnen, ratusan serdadu Belanda menyisir desa itu. Tak satu pun jejak gerilyawan ditemukan. Warga juga bungkam. Murka oleh pembangkangan itu, Wijnen memaksa semua lelaki di atas 15 tahun berkumpul di lapangan. Matahari belum tinggi saat itu. Warga pun berbaris di lapangan.

Para serdadu itu tiba-tiba mengokang senjata. Lalu, trat-tat-trat-tat. Peluru melesat, ratusan warga roboh bersimbah darah. Ada yang mencoba lari, tapi peluru laknat itu lebih cepat ketimbang kaki-kaki kurus para petani.

Saih bin Sakam lolos dari maut. Dia hanya terluka di punggung, dan tangan. Kepada Radio Nederland, Saih menunjukkan bekas luka tembak itu. “Diberondong peluru di badan seperti ini”, ujar Saih. Di punggung, ada bekas lingkaran hitam. “Belum puas kali, maka saya ditembak lagi di bagian tangan,” ujar Saih.

Menurut dia, korban pembantaian hari itu hanya kaum lelaki. Kebanyakan pemuda. Para perempuan dan anak-anak, selamat. (Baca detil kisah pembantaian di Yang Terserak di Rawagede)

Mencari Lukas

Apa yang dicari Belanda di Rawagede? “Mereka mencari Kapten Lukas Kustario,” ujar sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Dr Baskara Wardaya kepada VIVAnews, pekan lalu di Yogyakarta. Lukas adalah komandan kompi Siliwangi .

Dijuluki “Begundal Karawang”, Lukas memang orang paling diuber Belanda. Ulahnya memusingkan. Dia kerap menyerang pos militer. Dia memimpin pasukannya membajak kereta api, menggasak senjata, dan amunisi kumpeni.

Rawagede sendiri adalah jalur lintasan para gerilyawan. Berbagai laskar rakyat singgah di sana. Juga para begundal dan perampok.” Lukas adalah target Belanda,” kata Baskara. Rakyat Rawagede sendiri membela gerilyawan itu.

Itu sebabnya, kata Baskara, mereka bungkam. Karena bungkam itu, Belanda marah. “431 orang dibunuh. Ada beberapa yang lolos, dan pura-pura mati. Mereka lalu menceritakan peristiwa itu,” kata Baskara menambahkan.

Saih pergi ke Belanda atas undangan Komite Kehormatan Utang Belanda. Dia sebetulnya ingin bertemu Ratu Belanda saat ini, Beatrix. “Kepinginnya sih Ratu bertemu, dan minta maaf. Tapi yang penting, berjabat tangan. Kita kan juga berterima kasih, dan saya memaafkan,” kata Saih. Sayang, untuk alasan yang kurang jelas, Ratu Beatrix menolak bertemu Saih.

Selain Ratu Beatrix, Saih juga ditampik oleh parlemen Belanda dari Komisi Luar Negeri. Tak jelas juga alasannya. Namun ada yang melegakan: Saih boleh bercerita kepada anak-anak sekolah di Kota Gronigen, Belanda Timur Laut.

Kepada anak-anak SD, Saih bercerita bahwa dia tak akan menggugat tentara Belanda. Dia ingin Belanda minta maaf kepada Indonesia, dan membayar ganti rugi. Para pelajar itu terperanjat. Mereka tak menyangka Belanda pernah sekejam itu.

Kadaluwarsa?

Tapi, belum lagi sampai cita-citanya itu, Saih bin Sakam meninggal pada 7 Mei 2011. Dialah korban terakhir tragedi Rawagede yang masih hidup sampai abad ke-21. Dia pergi, justru saat Belanda mulai membuka kasus itu di pengadilan.

Para kerabat korban pembantaian itu terus melaju (Lihat kronologinya di Infografik: Banjir Darah di Rawagede). Pada 20 Juni 2011, mereka menuntut Belanda, melalui pengadilan di Den Haag. Tujuannya, Belanda harus mengakui adanya pembantaian, meminta maaf, dan memberi ganti rugi.

Meski tak disuarakan resmi, Pemerintah Indonesia kabarnya mendukung langkah korban pembantaian Rawagede itu.

Dukungan pemerintah itu diungkapkan Ketua Yayasan Rawagede Sukarman kepada VIVAnews, di Rawagede, Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Karawang pekan lalu. Sukarman adalah cucu salah satu korban. Ia telah bolak-balik ke Den Haag mengikuti proses pengadilan kasus Rawagede di Pengadilan Belanda.

Menurut Sukarman, sebelum menggugat ke Belanda 15 Agustus 2008 lalu, mereka meminta izin ke Komisi I dan Komisi III DPR, serta ke MPR. “Kami juga diundang ke Departemen Luar Negeri, dan langsung dihubungkan ke Biro Eropa. Mereka katakan, lanjutkan tuntutan itu,” ujar Sukarman.

Selama proses gugatan itu pun, Sukarman dibantu oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda. Sidang kasus itu dibuka 20 Juni 2011. Penggugat adalah sanak saudara korban Rawagede. Tergugat adalah pemerintah Belanda.

Perang argumen pun muncul di meja hijau. Pengacara pengugat adalah Liesbeth Zegveld. Dia aktif membela kasus hak-hak azasi manusia internasional, termasuk kejahatan kemanusiaan di Srebrenica, Bosnia.

Di sidang itu, Zegveld bercerita seperti halnya kesaksian Saih bin Sakam. Komite Utang Kehormatan Belanda juga menuntut ganti rugi bagi korban Rawagede. Ada juga sengketa soal jumlah korban. Penggugat mengatakan yang tewas 431 orang. Belanda dalam Nota Ekses 1969, mengatakan hanya 150 orang.

Selain itu, fakta baru diajukan oleh penggugat, berupa dokumen korespondensi. Disebutkan, para petinggi Belanda tak meragukan Wijnen bersalah. Jenderal Simon Spoor menulis surat kepada jaksa agung, bahwa Pengadilan Militer akan menghukum Mayor Wijnen. Tapi, Jaksa Agung tak jadi menggugat Wijnen. Alasannya, kasus itu 'tak ada lagi campur tangan, dan perhatian asing'.

Zegveld menilai para janda yang suaminya dibunuh militer Belanda di Rawagede, diperlakukan tak adil. Ini jika dibandingkan korban kejahatan perang dunia kedua terhadap Yahudi. Hak mereka sebagai korban perang dunia kedua diakui, dan menerima ganti rugi. “Ada kebiasaan Belanda tak menolak tuntutan korban perang dunia kedua hanya karena kadaluwarsa. Kebijakan ini juga harus berlaku bagi janda dari Rawagede,” ujar Zegveld, seperti dikutip Radio Nederland.

Sebelumnya, pengacara Belanda GJH Houtzagers mengatakan kasus pembunuhan oleh serdadu Belanda itu sudah kadaluwarsa. Lagipula, korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, telah meninggal Mei lalu. Houtzagers juga memberi argumen lain. Katanya, ada kesepakatan Belanda dan Indonesia pada 1966. Isinya, kedua pihak setuju mengakhiri sengketa keuangan.

Houtzagers mengingatkan Indonesia dan Belanda kini bekerjasama dalam banyak hal. “Belanda membantu tak saja desa Rawagede, tapi juga wilayah lain. Kedua negara memandang ke depan, membangun masa depan bersama, dan bukan melihat masa lalu,” kata Houtzagers.

Pintu ke kasus lain

Yang menarik, kata Zegveld, jika kasus Rawagede menang di pengadilan. Dampaknya positif bagi korban aksi militer Belanda lainnya di Indonesia. Mereka bisa menuntut ganti rugi juga.

“Kami ingin memberi tahu kepada masyarakat Belanda kejadian sebenarnya. Ini bukan kasus Rawagede saja. Di Sulawesi Selatan ada pembantaian Raymond Westerling, ada juga kasus Kaliprogo di Jawa Tengah, Gerbong Maut di Bondowoso, dan sebagainya”, kata Jeffry Pondaag dari Komite Utang Kehormatan Belanda.

Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda, Batara R Hutagalung sepakat. Dia mengatakan banyak aksi pembantaian Belanda sekitar 1945-1950 di Indonesia yang tak terungkap di dunia internasional. Ironisnya, Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) justru bermarkas di Den Haag, Belanda.

Batara yakin, jika Belanda konsisten, maka kasus ini bisa menang. Dia mengajukan contoh. Dua tahun lalu, ada bekas tentara Jerman dijatuhi hukuman seumur hidup. Dia membantai empat warga sipil di Belanda semasa perang. “Dia dihukum karena membunuh empat orang. Maka logikanya, yang membantai puluhan ribu bisa dimajukan ke pengadilan internasional. Itu sebabnya kami mengajukan kasus Rawagede,” kata Batara kepada VIVAnews.

Berhasilkah gugatan dari Rawagede? Hakim Pengadilan Den Haag mengatakan masih mempelajari pleidoi kedua pihak. Mereka segera memberi putusan dalam waktu 90 hari, atau pertengahan September 2011 ini

sumber :http://selokartojaya.blogspot.com/2011/08/menggugat-pembantaian-rawagede.html

Perancang Burung Garuda


Siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913.
Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda.

Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar – karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.
Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.
Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar.

sumber : http://sejarahbangsaindonesia.wordpress.com/2011/05/01/perancang-lambang-garuda-pancasila-yang-terlupakan/#more-515

Sabtu, 15 September 2012

Lagu Indonesia Raya Versi asli

dowload disini


Pemerintahan Indonesia

== Era reformasi ==
{{utama|Indonesia: Era Reformasi}}

=== Pemerintahan Habibie === Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari [[Dana Moneter Internasional]] dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.



=== Pemerintahan Wahid ===
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada [[7 Juni]] [[1999]]. [[PDI Perjuangan]] pimpinan putri Soekarno, [[Megawati Sukarnoputri]] keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; [[Golkar]] (partai Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; [[Partai Persatuan Pembangunan]] pimpinan [[Hamzah Haz]] 12%; [[Partai Kebangkitan Bangsa]] pimpinan [[Abdurrahman Wahid]] (Gus Dur) 10%. Pada Oktober [[1999]], MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, [[Kabinet Persatuan Nasional]] pada awal November 1999 dan melakukan ''reshuffle'' kabinetnya pada Agustus [[2000]].

Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di [[Aceh]], [[Maluku]], dan [[Papua]]. Di [[Timor Barat]], masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.


=== Pemerintahan Megawati ===
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada [[29 Januari]] [[2001]], ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.Kabinet pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan kabinet gotong royong.


=== Pemerintahan Yudhoyono ===
Pada [[2004]], pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan [[Susilo Bambang Yudhoyono]] tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti [[Gempa bumi Samudra Hindia 2004|gempa bumi besar di Aceh dan Nias]] pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta [[gempa bumi Sumatra Maret 2005|gempa bumi lain pada awal 2005]] yang mengguncang Sumatra. Pada [[17 Juli]] [[2005]], sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan [[Gerakan Aceh Merdeka]] yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah [[Aceh]].

Cerita di Balik Super Semar (Serangan 11 Maret)

11 Maret 1966, sejarah Indonesia mengalami titik balik. Sebuah rezim mulai runtuh. Dan sebuah babak baru lahir. Instrumen yang mengubah sejarah itu cuma secarik kertas, yang ditandatangani Presiden Soekarno hari itu: Surat Perintah Sebelas Maret, biasa disingkat Supersemar. Lewat surat itu Presiden Soekarno memberikan wewenang kepada Letjen Soeharto, waktu itu Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil “segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi”. Lewat surat itulah kekuasaan Presiden Soekarno mulai terkikis. Dan Jenderal Soeharto muncul sebagai pimpinan nasional yang baru. Menjelang 11 Maret 1971 itu Presiden Soeharto untuk pertama kali menjelaskan latar belakang dan sejarah lahirnya Supersemar karena, katanya, rakyat Indonesia memang berhak mengetahuinya. “Supersemar merupakan bagian sejarah yang sangat penting untuk meluruskan kembali perjuangan bangsa dalam mempertahankan cita-cita kemerdekaan dan memberi isi kemerdekaan,” ujarnya. Intisari penjelasan Kepala Negara: ia tidak pernah menganggap SP 11 Maret itu sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. “Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup secara terselubung,” katanya tegas. Supersemar memang peristiwa yang bersejarah. Ada yang menyebutnya “tonggak sejarah Orde Baru”, atau “Momentum Orde Baru”. Presiden Soeharto sendiri menyebutnya “Awal Perjuangan Orde Baru”. Meski telah beberapa kali dilakukan usaha merekonstruksikan peristiwa itu, antara lain pada 1976 oleh Pusat Sejarah ABRI yang waktu itu dipimpin Nugroho Notosusanto (almarhum), masih sering terjadi kesimpangsiuran mengenai peristiwa penting itu. Misalnya yang terjadi pada 1982, tatkala muncul kisah lahirnya Supersemar versi Hasjim Ning, yang kemudian dibantah sendiri oleh pengusaha tersebut. Tampaknya, belum semua hal terungkap seputar kelahiran Supersemar. Bukan cuma itu saja. Di sana-sini masih ada cerita yang tidak klop. Mungkin pelacakan secara lengkap perlu dilakukan, mumpung banyak pelakunya masih ada. Surat asli Supersemar sendiri kabarnya hingga kini masih hilang. Maklum, di saat itu keadaan cukup kacau hingga mungkin kesadaran mendokumentasi masih kurang. Alkisah…… Istana Bogor, Jumat 11 Maret 1966. Deru suara helikopter memecah keheningan Istana sekitar pukul 11 siang. Helikopter Bell kepresidenan mendarat di lapangan Istana. “Kok siang-siang begini datang, biasanya ‘kan sore,” pikir Ny. Hartini Soekarno sambil keluar pavilyun Istana menjemput suaminya. Presiden Soekarno tiap Jumat sore memang menginap di Istana Bogor, dan kembali ke Istana Merdeka Senin pagi. Dengan dikawal Brigjen Sabur, ajudan Presiden sekaligus Komandan Resimen Cakrabirawa (satuan pengawal presiden), Bung Karno, yang berpakaian uniform presiden warna abu-abu, memasuki pavilyun. Ia memakai pici, dan tak lupa membawa tongkatnya. “Pagi-pagi kok sudah ada di Bogor, Mas,” ucap Ny. Hartini. Bung Karno, yang datang dengan muka keruh, hanya menjawab pendek, “Tien, keadaan genting.” Soekarno kemudian masuk kamar, berganti pakaian. Ia sembahyang lohor dan makan siang. Menu siang itu: sayur lodeh, tahu, dan tempe — makanan kesukaan Bung Karno. “Bapak hanya makan sedikit. Kelihatannya nafsu makannya tidak baik,” cerita Ny. Hartini. Selesai makan siang, Soekarno beristirahat. Saat itu sekitar pukul satu siang. Tak lama kemudian deru helikopter yang mendarat menggemuruh lagi. Isinya Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Subandrio dan Waperdam III Chaerul Saleh. “Mereka menuju pavilyun saya, yang terletak di sebelah kiri pavilyun Bung Karno, dan saya persilakan duduk. Pak Sabur datang dan berbicara dengan mereka. Ia lalu mengantar mereka ke pavilyun yang disediakan untuk tamu,” kata Mangil Martowidjojo, yang saat itu menjabat Komandan Detasemen Kawal Pribadi Resimen Cakrabirawa. Sekitar pukul 2, sebuah helikopter mendarat lagi. Kali ini yang turun Menteri Veteran Mayjen Basoeki Rahmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen Jusuf, dan Pangdam V Jaya Brigjen Amir Machmud. Semuanya berseragam militer. Mereka langsung menuju pavilyun tempat pengawal, dan disambut Sabur. “Bur, kami datang ingin ketemu Bapak,” kata Basoeki Rahmat. Sabur menjelaskan, Bung Karno sedang beristirahat. “Kalau begitu, akan kami tunggu,” jawab Basoeki Rahmat. Seingat Ny. Hartini, Bung Karno siang itu beristirahat sekitar dua jam. Kira-kira pukul 14.30 (ini menurut penuturan Jenderal Jusuf pada 1973), Sabur datang dan mengatakan Bung Karno bisa ditemui. Ketiga jenderal itu lalu dibawa ke ruang tamu Istana yang dindingnya bercat putih itu. Soekarno yang mengenakan celana kolor dan kaus oblong putih menerima mereka. Raut mukanya keruh. “Mau apa kalian ke sini?” tanyanya. Basoeki Rahmat sebagai jenderal tertua dalam rombongan itu memulai berbicara, mewakili yang lain. “Kami sengaja datang untuk menemui Bapak untuk menunjukkan kami tidak meninggalkan Bapak. Kami tidak ingin Bapak merasa telah ditinggalkan oleh ABRI, oleh Angkatan Darat. Kami menyesalkan terjadinya peristiwa pagi tadi. Tapi kami harap Bapak Presiden tidak terpengaruh oleh kejadian itu.” Sikap Bung Karno ternyata masih keras. “Apa? Kau bilang aku jangan terpengaruh? Aku tidak usah gelisah? Kau mengatakan Angkatan Darat tidak meninggalkan aku? Kalian sendiri tahu, Angkatan Darat ikut demonstrasi. Ikut menjatuhkan saya. Kalian susupkan anggota RPKAD dan Kostrad di antara pemuda dan mahasiswa itu. Untuk apa kalau bukan untuk menyerang saya?” Kemarahan Bung Karno bisa dimengerti. Pagi 11 Maret itu di Istana Negara ada sidang kabinet. Sebelum sidang dimulai, Presiden Soekarno menanyakan pada Amir Machmud apakah situasi aman hingga sidang kabinet bisa dilangsungkan. Pangdam V Jaya ini memberikan jaminannya bahwa situasi aman. Namun, di tengah sidang, mendadak Brigien Sabur menyampaikan suatu nota kepada Presiden Soekarno. Isinya ternyata laporan tentang adanya pasukan tak dikenal, karena tak memakai tanda pengenal, meski memakai senjata, di sekeliling Istana. Setelak berbicara dengan Subandrio, Bung Karno lalu menskors sidang, dan menyerahkan pimpinan sidang pada Waperdam Leimena. Rupanya, laporan tentang munculnya “pasukan liar” itu mengguncangkan Presiden Soekarno, yang tampaknya menduga, pasukan itu dikerahkan pihak Angkatan Darat yang menentangnya. Karena itulah ia menghentikan sidang kabinet, meninggalkan istana, dan menuju ke helikopter, diikuti Subandrio yang terbirit-birit hingga sepatunya tertinggal, serta Chaerul Saleh. Bung Karno, yang mungkin merasa situasi Jakarta terlalu panas, terbang ke Istana Bogor. Hari-hari itu suasana Jakarta memang panas dan bergolak. Hampir tiap hari terjadi demonstrasi KAMI dan KAPPI. Lima bulan setelah Peristiwa G-30-S/PKI, penyelesaian politik yang dijanjikan Presiden Soekarno belum juga terjadi. Meski kegiatan PKI telah dilarang oleh sejumlah penguasa militer, secara resmi PKI belum dibubarkan. Sementara itu, situasi ekonomi makin parah. Pemerintah pada 13 Desember 1965 telah memotong nilai uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Namun, harga kebutuhan hidup makin melonjak. Masyarakat merasa gelisah. Demonstrasi-demonstrasi itu umumnya diorganisasikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang makin lama tumbuh makin besar dan kuat. Corat-coret dan yelyel para demonstran itu keras dan menuding pemerintah: “Turunkan harga beras”, “Singkirkan menteri-menteri yang tidak becus”, atau “Ganyang Subandrio”. Waperdam Subandrio memang menjadi sasaran, karena ia — yang kemudian mendapat julukan Durno — dianggap “dekat” dengan PKI. Namun, terhadap Presiden Soekarno, para mahasiswa dan pemuda masih bersikap toleran. Yel-yel “Hidup Bung Karno” masih diteriakkan para demonstran itu. Pada 10 Januari 1966 dicetuskanlah Tri tuntutan Rakyat (Tritura): Bubarkan PKI, Rombak Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga. Aksi-aksi mahasiswa dan pemuda makin menghebat. Meski menyerang pemerintah dengan tuntutan seperti “Ritul Menteri Goblok”, belum muncul kecaman langsung terhadap Presiden Soekarno. Para pemimpin mahasiswa malah berkata: aksi-aksi mahasiswa itu selalu sejalan dengan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Bung Karno sendiri menuduh, kerusuhan dan keguncangan yang terjadi didalangi oleh pihak kontrarevolusi dan nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme) yang mau menjatuhkan dia. Dalam suatu sidang kabinet di Istana Bogor pada 15 Januari 1966 dengan marah ia berseru, “Ini Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi. Siapa yang mau ikut saya, ikutlah. Saya yang bertanggung jawab pada Revolusi. Ini aku Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi. Siapa yang senang pada Soekarno, ayo susun barisan, pertahankan, kumpulkan barisan. Jangan bertindak liar. Tunggulah komando saya. Saya tidak mau didongkel-dongkel dari belakang.” Kekuasaan Presiden Soekarno saat itu memang masih besar. Meski banyak yang tidak puas dengan sikapnya yang dianggap melindungi PKI dengan menolak desakan untuk membubarkan partai itu, serta cara penanganan masalah ekonomi yang payah, kedudukannya bagai tak tergoyahkan. Sebagian ABRI waktu itu, terutama AL, AU, dan Kepolisian, mendukung dia. Karena seruan Bung Karno, atas ajakan Subandrio dibentuklah Barisan Soekarno. Dalam pidato radionya, Subandrio juga mengecam keras aksi-aksi mahasiswa, yang dinilainya melampaui batas kesopanan. “Apakah perbuatan mahasiswa itu benar-benar berasal dari mereka sendiri? Ataukah penunggangan dari musuh-musuh revolusi, baik nekolim dari luar maupun kontrarevolusi dari dalam, yang menyelewengkan niat baik mahasiswa kita?” katanya. Tuduhan Subandrio ini menggusarkan mahasiswa. Serta merta Subandrio dijuluki “Anjing Peking” atau “Haji Peking”. Meski Pepelrada Jaya sejak 16 Januari melarang demonstrasi, para mahasiswa melawannya dengan mengirim delegasi-delegasi menemui para pejabat. Bentrokan fisik mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dengan kelompok pemuda dan mahasiswa marhaen mulai terjadi di beberapa tempat. Dengan berbagai cara, antara lain gerak jalan, pawai, atau apel siaga, aksi-aksi pemuda dan mahaslswa berjalan terus. Pada 21 Februari Presiden Soekarno merombak kabinet. Susunan kabinet yang baru ternyata tidak memuaskan banyak pihak, termasuk para mahasiswa, karena sejumlah menteri dianggap dekat atau pro-PKI dipertahankan atau dimasukkan. Dengan dalih mengadakan “Apel Besar Kesetiaan pada Presiden Soekarno”, pada 23 Februari KAMI menyelenggarakan demonstrasi lagi. Tatkala berniat “menyampaikan resolusi” ke Sekretariat Negara, terjadi bentrokan dengan petugas keamanan. Beberapa mahasiswa terluka kena tembakan. Mahasiswa yang marah lalu merusakkan kantor Setneg. Kamis 24 Februari 1966, Kabinet Dwikora yang disempurnakan – yang diejek sebagai Kabinet 100 Menteri — akan dilantik. Para mahasiswa sejak pagi buta melancarkan aksi pengempisan ban di jalan-jalan utama Jakarta. Jakarta macet total. Pelantikan berjalan terus, meski sebagian menteri harus dijemput dengan helikopter atau dengan berbagai cara menembus demonstrasi yang mengepung Istana. Di tengah kegalauan itu terdengar suara tembakan. Beberapa demonstran tertembak. Seorang di antaranya, Arief Rachman Hakim, tewas, kena tembakan pasukan Cakrabirawa. Esoknya, upacara penguburan Arief — yang diperlakukan sebagai martir — dilanjutkan dengan aksi unjuk perasaan. Ratusan ribu orang memadati jalan dan menyaksikan iringan jenazah menuju pemakaman Blok P, Kebayoran Baru. Sorenya, muncul sas-sus pasukan Cakra akan menyerang kampus UI Salemba, yang dijadikan markas mahasiswa. Beberapa panser Kostrad segera dikirim ke UI untuk menjaga. Para pimpinan mahasiswa dilindungi, dan mereka, ‘antara lain Cosmas Batubara, David Napitupulu, Zamroni, Lim Bian Kun, menginap di markas Kopur Kostrad. Yang terjadi selama aksi demonstrasi berlangsung memang itu: para mahasiswa mendapat dukungan dan bekerja sama dengan sebagian Angkatan Darat, terutama RPKAD dan Kostrad. Karena itu, meski sejak 26 Februari KAMI dibubarkan pemerintah, aksi demonstrasi menuntut pelaksanaan Tritura bisa berjalan terus, antara lain lewat KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia) yang dibentuk pada 9 Februari 1966. Timbul ide di kalangan pimpinan Kostrad untuk mengerahkan pasukan tanpa tanda pengenal di sekeliling Istana, menurut Kepala Staf Kostrad waktu itu, Kemal Idris, guna mencoba menangkap Subandrio serta mengawasi gerakan pasukan Cakrabirawa. Di samping itu, pengerahan sekitar 200 orang pasukan RPKAD dan Kostrad tanpa tanda pengenal itu,juga untuk melindungi aksi-aksi mahasiswa dan pemuda. “Pak Harto sudah berpesan pada saya, supaya melindungi anak-anak muda tersebut dari serangan Cakrabirawa,” ujar Kemal Idris, waktu itu Kepala Staf Kostrad. Menurut Kemal, Jenderal Soeharto menaruh harapan pada anak-anak muda yang mendemonstrasi kepemimpinan Bung Karno tersebut. Kemal saat itu dianggap dekat dengan para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI. Kepala Staf Kostrad itu juga ditugasi memimpin semua pasukan yang ada di Jakarta. “Terutama dari Angkatan Darat, mengingat KKO dan Angkatan Udara waktu itu tidak bisa dipercaya. Memang dari Angkatan Darat sendiri juga ada yang terlibat G-30-S/PKI tapi bisa kami atasi,” kata Kemal. Amir Machmud, sebagai Pangdam V Jaya, ketika itu membawahkan pasukan teritorial, tapi secara operasional di bawah Kemal Idris. Sedangkan Umar Wirahadikusumah, sebagai Panglima Kostrad, berada di atas Kemal. Meski dengan berbagai cara berusaha menekan Bung Karno, menurut penegasan sejumlah tokoh AD, saat itu tidak ada maksud Angkatan Darat untuk menjatuhkan Presiden Soekarno. Tekanan tersebut tampaknya untuk mendesak Presiden Soekarno agar segera melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa G-30-S/PKI dengan secara formal membubarkan PKI. Namun, Bung Karno waktu itu selalu mengatakan: selama keadaan dalam negeri belum lagi tenang, ia susah untuk mengambil keputusan tentang penyelesaian politik itu. Misalnya dalam pidatonya 23 Januari 1966, Bung Karno berkata, “Aku berulang-ulang minta tenang, tenang, dan apa yang kita lihat dan apa yang kita saksikan? Tenang tenang ini tidak ada, mana pula belakangan ini timbul demonstrasi macam-macam.” Di dalam konstelasi politik saat itu, Angkatan Darat merupakan kekuatan yang menentukan. Posisi sepuluh parpol yang ada waktu itu kurang kuat, terutama karena sebagian besar pimpinannya dinilai pernah bekerja sama dengan PKI. Sikap mereka ketika itu, oleh pihak mahasiswa, dianggap plintat-plintut dan menentang aksi mahasiswa. Pada 10 Maret, seusai pertemuan dengan Presiden Soekarno di Istana Merdeka, misalnya, para pimpinan parpol mengeluarkan pernyataan yang tidak bisa membenarkan cara yang digunakan pelajar, mahasiswa, dan pemuda “yang bisa membahayakan jalannya revolusi dan merongrong kewibawaan PBR Bung Karno.” Mereka juga bertekad bulat “untuk melaksanakan tanpa reserve” perintah harian Presiden Soekarno 8 Maret. Perintah harian itu sendiri pada pokoknya memerintahkan pada seluruh slagorde ABRI, parpol, Golkar, dan ormas untuk “mempertinggi kewaspadaan menghadapi segala macam penyusupan dan hasutan yang bermaksud memecah belah persatuan.” Di samping itu, juga “menghancurkan segala usah yang merongrong kewibawaan, kepemimpinan dan kebijaksanaa PBR/Presiden/Mandataris MPRS Bung Karno.” Meski begitu, sebagian kecil pimpinan parpol, terutama yang bergabung dalam Komando Aksi Pengganyangan Gestapu, bekerja sama dengan mahasiswa dan pemuda dan AD, menentang Presiden Soekarno. Hingga sampailah hari itu, 11 Maret 1966. Bung Karno, yang tampaknya panik oleh kehadiran “pasukan tak dikenal” di sekitar Istana, menyingkir ke Bogor. Sidang kabinet kemudian dibubarkan Waperdam Leimena. Keluar dari Istana, kebetulan Basoeki Rahmat, M. Jusuf, dan Amir Machmud berjalan bersama. Jusuf mengajak keduanya untuk pergi menemui Bung Karno di Bogor dan berbincang-bincang, sehingga Bung Karno tidak merasa telah ditinggal Angkatan Darat. Keduanya bersedia. Menteri/Wakil Menko Hankam Mayjen Mursid, yang waktu itu hadir dan ikut diajak, menolak. Menurut Amirmachmud, ia mengusulkan agar mereka melapor dulu ke Pak Harto. Bertiga mereka kemudian pergi ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat. Hari itu kesehatan Pak Harto terganggu hingga tidak dapat menghadiri sidang kabinet. “Pada waktu menghadap Pak Harto itu, kami menjelaskan jalannya sidang kabinet. Kemudian kami meminta izin kepada Pak Harto untuk pergi ke Bogor dengan maksud untuk menenteramkan Bung Karno,” cerita Amir Machmud. Mereka juga menanyakan apakah Pak Harto ada pesan yang perlu disampaikan pada Bung Karno. Menurut Amir Machmud, Pak Harto waktu itu mengatakan, “Pertama, sampaikan salam saya kepada Bung Karno. Kedua Bung Karno tak usah khawatir. Kita sanggup menyelamatkan Pancasila, UUD 1945, menyelamatkan Revolusi Indonesia dan memelihara keamanan, asal diberi kepercayaan untuk itu.” Jadi, ‘kata Amir Machmud, Pak Harto tidak pernah membicarakan kemungkinan adanya surat perintah seperti Supersemar itu. Sikap Soeharto kepada Soekarno waktu itu memang menunjukkan sikap anak kepada bapak. Itu juga terlihat dari suatu dialog antara Pak Harto, yang waktu sudah diangkat menjadi Pangkopkamtib, dan Bung Karno, di Istana Merdeka, di awal 1966, di saat demonstrasi mahasiswa mewarnai suasana Jakarta. Waktu itu Bung Karno menanyakan pada Pak Harto,: “Harto, aku ini akan kamu apakan? Aku ini pemimpinmu. Aku iki arep tok kapakke” “Bapak Presiden,” jawab Pak Harto, “saya ini anak petani miskin.’Tetapi ayah saya selalu mengingatkan saya untuk selalu menghormati orang tua. Saya selalu diingatkan untuk mikul duur mendem jero (menghormat) terhadap orangtua.” “Bagus,” jawab Bung Karno. “Bapak tetap saya hormati, seperti saya menghormati orangtua saya. Bagi saya, bapak tidak hanya pemimpin bangsa, tetapi saya anggap orangtua saya. Saya selalu ingin mikul dulaur terhadap Bapak. Sayang, yang mau dipikul duvur mendem jero tidak mau,” kata Pak Harto. “Betul begitu, To?” “Betul, Pak. Insya Allah. Soalnya tergantung Bapak.” “Nah. Kalau betul kau masih menghormati aku dan menghargai kepemimpinanku, kuperintahkan kau menghentikan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa itu. Aksi-aksi mereka sudah keterlaluan. Tidak sopan. Liar. Mereka sudah tidak sopan dan hormat kepada orang tua. Mereka tidak bisa dibiarkan, Harto. Kau, kuminta mengambil tindakan terhadap mereka.” “Maaf, Pak. Saya pikir, masalah ini berkenaan dengan pembenahan negara kita secara keseluruhan. Yang saya maksud, penyelesaian politik mengenai G-30-S/PKI seperti yang Bapak janjikan. Kalau sekarang Bapak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa PKI dibubarkan dan dilarang, saya percaya mahasiswa itu akan menghentikan aksi-aksinya. Karena itu yang dituntut oleh mereka.” “Penyelesaian politik G-30-S/PKI lagi yang kau sebut, Harto. Kamu tadi mengatakan tetap menghormati kepemimpinanku.” “Tak pernah goyah, Pak.” “Kalau begitu, laksanakan perintahku,” kata Bung Karno. Pak Harto tidak menjawab. Bung Karno juga terdiam. Menilik dialog semacam itu, bisa dimengerti kalau Bung Karno juga meledak-ledak ketika tiga jenderal, Basoeki Rahmat, Jusuf, dan Amir Machmud, menemuinya, siang 11 Maret 1966 itu. Ia memarahi Amir Machmud, yang selalu melapor bahwa keadaan aman. “Apanya yang aman? Demonstrasi berlangsung terus. Kau itu penanggung jawab keamanan Ibu Kota. Apa yang kau lakukan untuk menghentikan demonstrasi itu?” Ia juga menegur Basoeki Rahmat dan Jusuf. “Kalian juga tidak berbuat apa-apa.” Ia menuduh ketiga jenderal itu berpura-pura, dan sebenarnya ingin agar Soekarno jatuh. Mereka bertiga membantah. Kata Basoeki Rahmat, “Itu tidak benar, Pak. Tidak ada niat meninggalkan Bapak. Apalagi menjatuhkan Bapak. Kalau ada niat seperti itu, tentu kami tidak datang kemari.” Bung Karno terdiam. Ia kemudian menanyakan kemungkinan jalan keluar situasi. Jusuf menyarankan agar Bung Karno memerintahkan Jenderal Soeharto untuk mengatasi keadaan. Amir Machmud menambah, “Ya, Pak. Tadi Pak Harto juga berpesan sanggup mengatasi keadaan, kalau Bapak Presiden memberikan kepercayaan kepadanya.” “Kepercayaan? Kepercayaan apa lagi yang harus kuberikan kepadanya? Jenderal Soeharto sudah kuangkat menjadi Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Tapi coba, sampai sekarang tidak aman dan tidak tertib,” jawab Bung Karno. “Mungkin diperlukan kepercayaan lebih lagi, Pak,” kata Amirmachmud. “Kepercayaan lebih bagaimana? Apa maksudmu? “ “Semacam surat perintah, misalnya,” sahut Amir Machmud. Soekarno terdiam. Matanya menatap tajam ketiga jenderal itu. Juga kepada Sabur, yang ikut hadir di situ. Akhirnya Bung Karno setuju. Keempat jenderal itu diperintahkannya membuat konsep surat perintah itu. Selembar kertas disodorkan ke Basoeki Rahmat. Jenderal kelahiran Tuban, Ja-Tim, yang dikenal pendiam itu lalu mengeluarkan pena. Ia mengucapkan “Bismillahirrochmanirrohim” lalu mulai menulis. Surat Perintah. Itu kalimat pertama yang ditulisnya. Konsep itu kemudian disampaikan Sabur kapada Bung Karno. Ia lalu memanggil ketiga Waperdam, Subandrio, Leimena, dan Chaerul Saleh, yang sudah ada di Istana Bogor, dan menanyakan pendapat mereka. Hanya Subandrio yang menjawab, “Kalau Bapak tanda tangani, buntutnya akan panjang.” Mungkin karena tidak memperoleh kesepakatan bulat di antara para pembantu dekatnya, Bung Karno masuk ke kamar kerjanya. Waktu itu ia sudah memakai piyama biru dan memakai sandal Bata warna cokelat. Konon, ia sempat sembahyang. Sekitar satu jam Soekarno berada di kamar kerjanya. Setelah satu jam, konsep awal tadi sudah ada coretannya, dan dikembalikan kepada ketiga jenderal tersebut. Basoeki Rahmat kembali membuat konsep baru, yang kemudian disampaikan Sabur kepada Bung Karno. Akhirnya mereka berkumpul lagi di salah satu ruangan yang lebih besar.Pada pertemuan ini, Bung Karno telah memakai pakaian lengkap, baju putih. Lengan pendek, celana abu-abu, dan memakai pici. Yang hadir: ketiga jenderal tadi, tiga waperdam, dan Sabur yang tetap berdiri. Suasana agak tegang. Hasil rembukan itu diketik Sabur dengan kertas yang berkop Kepresidenan RI. Akhirnya mereka berkumpul di ruang makan Istana. Bung Karno membaca ketikan konsep yang telah disetujui bersama. “Bagaimana, Ban, kau setuju?” tanya Bung Karno pada Subandrio. “Kalau Bapak Presiden sudah setuju, saya setuju,” jawab yang ditanya. Bung Karno kemudian menandatangani surat perintah yang kemudian sangat terkenal itu. Setelah itu mereka kembali ke pavilyun Istana. Di ruang tamu, mereka mengobrol sejenak. Bung Karno didampingi Hartini duduk di sofa panjang, sedang ketiga jenderal duduk di depan mereka. Leimena duduk di sebelah kiri Bung Karno, sedang Subandrio dan Chaerul Saleh duduk di kanan Hartini. Sabur tetap berdiri. Di ruangan yang tak berjendela itu, semua pintunya dibuka. Muka-muka yang hadir tampak serius. Tak berapa lama, ketiga jenderal itu mohon diri, memberi hormat dan kemudian bersalaman dengan Bung Karno. Sepulang ketiga jenderal itu, Soekarno masih sempat membaca di ruang tamu. Sekitar pukul 23.00 ia masuk kamar tidur. Di kamar tidur ia masih juga sempat membaca majalah Selecta. Tapi ia tampak gelisah. Sampai pukul 1.00 ia belum tertidur. “Bapak membolak-balikkan badannya ke kiri, ke kanan,” kata Ny. Hartini mengenang. Setelah minum obat tidur, barulah Bung Karno terlelap. Dalam perjalanan pulang dari Bogor dengan naik mobil, ketiga jenderal itu sempat membaca kembali Supersemar dengan menggunakan senter. Ketiganya kaget setelah menyadari surat perintah itu berarti penyerahan kekuasaan Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Supersemar memang berisi pelimpahan wewenang kepada Jenderal Soeharto “untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Pangti/PBR/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan negara RI, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran PBR”. Esoknya, Jenderal Soeharto, atas nama Presiden, mengeluarkan perintah harian kepada segenap jajaran ABRI dan mengumumkan kelahiran Supersemar. Perintah harian itu lalu disusul dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS/PBR Nomor 1/3/1966. Isinya: membubarkan PKI termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah serta semua organisasi yang seasas/berlindung/bernaung di bawahnya. PKI juga dinyatakan sebagai organisasi terlarang di seluruh RI. Akhirnya tuntutan rakyat agar PKI dibubarkan terlaksana. Berita itu segera tersebar. Bukti bahwa masyarakat menyambut gembira keputusan itu terlihat dari sambutan massa terhadap pawai kemenangan yang terjadi 12 Maret 1966 itu. Masyarakat di seluruh Indonesia juga menyambut meriah keputusan itu. Dan awal sebuah sejarah baru pun dimulai.