kSalah satu tempat yang sering mendapat perhatian di Museum Sejarah
Jakarta adalah ruangan yang terdapat di halaman belakang. Dulu
ruangan-ruangan ini gelap dan ditutup dengan pintu kuat. Cahaya dan
sirkulasi udara hanya melalui sebuah jendela berteralis tebal. Di
sisi-sisi tembok terdapat bola-bola besi untuk merantai para tahanan.
Sebelum menjadi museum, pada zaman Hindia Belanda memang gedung ini
dipakai sebagai balai kota atau stadhuis.
Sebenarnya tempat tahanan terdapat pula di lokasi-lokasi lain. Hanya
bukti-bukti fisiknya kurang mendukung. Mungkin dirobohkan lalu diganti
bangunan baru. Berapa jumlah tahanan ketika itu, tidak diketahui pasti.
Ada berbagai alasan mengapa orang-orang ditahan di tempat ini. Diketahui
sampai 1763 orang yang tidak bisa membayar hutang, ditahan seumur
hidup. Baru di tahun-tahun berikutnya lama penahanan diubah menjadi enam
tahun. Pada 1778 hukuman kurungan enam tahun ini untuk bukan orang
China diubah lagi, tapi tak ada data jelas berapa lama hukumannya.
Pada 1736 di dalam penjara sipil terdapat 64 sandera, 40 tahanan, dan
333 budak. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang penjara. Hanya
pada 1774 dikatakan di dalam sel penjara masih ditahan 2 sandera, 7
tahanan, dan 23 budak. Istilah sandera dimaksudkan untuk orang yang
belum membayar pajak sementara budak adalah titipan para juragan kaya
yang membayar jumlah tertentu kepada sipir penjara.
Penyiksaan
Soal hukuman, sebenarnya sejak 1602 VOC sudah dibebani pekerjaan
untuk menanggulangi hukum dan peraturan. Pada awalnya tidak ada masalah
karena yang terlibat hanya pegawai sendiri. Namun kemudian Batavia
menjelma menjadi kota yang multietnis, sehingga membingungkan VOC untuk
menerapkan hukum yang mana. Pada 1621 diambil keputusan bahwa semua
hukuman dan aturan yang berlaku di Republik juga berlaku di Hindia.
Ahli hukum dan Gubernur Jendral Joan Maatsuycker pada 1640 ditugaskan
untuk menyusun secara sistematis hukum kolonial. Dia menyatukan semua
undang-undang, ordonansi, tradisi, dan aturan. Karya ini dikenal sebagai
Bataviasche Ordonnanties (Dari Stadhuis Sampai Museum, 2003).
Menurut undang-undang tersebut, terdakwa yang telah ditangkap sambil
menunggu keputusan, akan dimasukkan ke dalam penjara. Kecuali kalau ada
orang mengamuk, dia akan dibunuh di tempat. Kalaupun dia ditangkap, akan
dihukum dengan mematahkan semua anggota badannya di atas roda.
Undang-undang Belanda menentukan bahwa seseorang hanya dapat dihukum,
jika dia telah mengaku. Namun untuk memperoleh pengakuan, sering kali
terdakwa disiksa terlebih dulu. Dalam balaikota terdapat satu kamar
penyiksaan, namun tidak jelas kamar yang dipakai.
Umumnya orang dihukum karena perbuatan kecil, seperti mencuri,
memfitnah, mabuk, atau berkelahi. Ada juga yang melanggar aturan VOC
seperti tidur pada jam jaga dan tidak hadir tanpa izin. Hukuman yang
ringan adalah membayar denda. Yang lebih berat berupa pemecatan,
penahanan seluruh gaji, dan pengembalian terdakwa ke Belanda.
Kerja paksa dan pengasingan
Di tahun-tahun awal kekuasaan VOC, keputusan hukum dilakukan oleh
Gubernur Jendral dan Dewan Pemerintahan. Karena semakin hari tugas
mereka semakin banyak, maka mulai 1620 tugas tersebut diwakilkan kepada
Dewan Pengadilan. Namun pemerintah pusat masih memegang hak untuk
memberikan grasi. Eksekusi hukuman mati juga hanya dapat dilakukan
dengan persetujuan pemerintah pusat.
Sayang pengetahuan Dewan Pengadilan tentang hukum dianggap masih
kurang. Untuk itu berkali-kali tenaga dari Belanda dikirimkan ke sini.
Baru setelah 1656 hampir semua anggota Dewan Pengadilan adalah ahli
hukum. Dewan ini bertugas menangani semua persoalan kriminal dan sipil
di Batavia.
Setelah itu hukum menjadi ketat. Bukan hanya perkara kriminal,
pencemar nama baik juga kena hukum. Bentuk hukumannya dengan memasukkan
terdakwa ke dalam kerangkeng besi, lalu dipajang di depan Gedung
Balaikota. Buat terdakwa militer, dia harus duduk berjam-jam di atas
”kuda kayu”, yakni sebuah rak kayu dengan permukaan yang tajam.
Sementara dia duduk, kaki-kakinya dipasangi pemberat. Tentu saja malunya
itu luar biasa, jadi objek tontonan banyak orang sambil diledek ”mau ke
mana nih” atau ”tolong antarkan surat ini yah”.
Hukuman yang lebih berat untuk tentara adalah ”ayunan”. Terdakwa
diikat pada kaki dan tangan lalu ditarik ke atas. Dari atas dia
dibiarkan jatuh bak pemain sirkus namun tidak sampai menyentuh lantai.
Pada abad ke-17 dan ke-18 belum ada hukuman penjara, dalam arti harus
menempati sel selama jangka waktu tertentu. Namun sejak 1641 sudah
terdapat penjara bagi wanita yang antara lain melakukan prostitusi,
bertengkar dengan pasangan, dan berbuat keji terhadap budak. Mereka
dikurung dan diwajibkan memintal benang untuk biaya hidup mereka.
Hukuman yang paling umum bagi orang Eropa dan Asia adalah siksaan dan
kerja paksa dengan dirantai selama beberapa bulan sampai sepuluh tahun.
Hukuman tambahan adalah ”cap badan” sebagai tanda bagi polisi untuk
mendeteksi para residivis sampai potong kuping.
Mereka yang mendapat kerja paksa biasanya ditugaskan mengeruk
kanal-kanal atau bekerja di pabrik pembuatan tali-temali. Pada 1705 kamp
tahanan kerja paksa dipindahkan ke Pulau Edam (Damar). Sampai 1795 kamp
ini masih berdiri dan kemudian dikosongkan karena khawatir serangan
Inggris.
Hukuman lain adalah pengasingan ke Maluku, daerah yang waktu itu
berbahaya bagi kesehatan. Tempat pengasingan lain adalah Ceylon
(Srilanka) dan Afrika Selatan.
Eksekusi dan Pemotongan
Hukuman mati di Batavia sangat tinggi. Pada awal abad ke-18,
Amsterdam yang memiliki 210.000 penduduk, hanya melakukan lima hukuman
mati per tahun. Di Batavia angka ini menjadi dua kali lebih besar,
padahal jumlah penduduk hanya 130.000.
Seseorang akan dihukum mati bila membunuh, baik terencana maupun
tidak terencana. Begitu juga bila memperkosa atau menculik. Biasanya
hukuman mati dilakukan dengan cara pemenggalan, untuk masyarakat sipil
dan tembak mati, untuk tentara.
Pada kasus-kasus berat malah ditambah pemotongan anggota badan. Pada
kasus paling berat terhukum akan diikat pada roda, semua anggota badan
dipukuli agar patah, juga ditusuk di atas tiang besi. Hukum jenis ini
memang tergolong kejam karena dia akan meninggal secara perlahan-lahan
dengan penderitaan fisik luar biasa.
Hukuman pancung dianggap paling bermasalah karena suatu waktu pernah
sang algojo tiba-tiba jatuh sakit. Ketika itu tidak ada penggantinya
yang bisa memenggal. Hukuman gantung pernah dilakukan. Namun kemudian
digantikan hukuman lain karena dianggap tidak terhormat.
Pada abad ke-17 dan ke-18 kegiatan homoseksualitas dianggap dosa
paling berat karena dipandang melanggar perintah Tuhan. Mereka yang
ketahuan akan dihukum mati. Kedua pria yang akan dihukum diharuskan
berhadapan punggung lalu diikat. Setelah itu dimasukkan ke dalam karung
dan ditenggelamkan. Hukuman yang sama diberlakukan untuk orang yang
melakukan seks dengan binatang atau sodomi.
Hukum di Batavia benar-benar tidak pandang bulu. Petrus Vuyst,
Gubernur di Ceylon (1729-1732) dihukum mati di sini. Gara-garanya dia
dianggap sangat kejam terhadap pegawai Kompeni dan penduduk lokal
Ceylon. Dia diikat dan didudukkan telanjang di atas kursi. Lalu lehernya
ditusuk dengan pisau. Badannya dipotong menjadi empat bagian, dibakar,
dan abunya disebar.
Namun pengadilan tetap saja ada yang tidak adil. Sesekali
penyalahgunaan kekuasaan dilakukan oleh Gubernur Jendral atau Dewan
Pemerintah Harian. Yang paling dikenal adalah kasus Pieter Erberveld,
yang dianggap mau memberontak kepada Kompeni.
Pelaksanaan eksekusi dilakukan di sebuah panggung di depan balaikota.
Yang lebih ringan dilaksanakan di bagian belakang gedung, dengan cara
digantung. Sementara pelaksanaan eksekusi dari Dewan Pengadilan
dilakukan di sebuah lapangan di depan kastil.
Pada saat-saat terakhir si terhukum didampingi seorang tenaga rohani
yang memimpin doa dari alkitab. Hal ini juga berlaku bagi orang Islam
dan China. Diharapkan pada saat terakhir mereka mau mengganti agama dan
menjadi Kristen.
Eksekusi biasanya dilakukan pagi hari, setelah lonceng di menara
balaikota dibunyikan. Beberapa jam kemudian jenazah dibawa ke lapangan
tiang gantung, dipajang di sana pada roda sampai hancur sendiri.
Bagi masyarakat Eropa, eksekusi mati merupakan hiburan. Sebaliknya bagi orang Asia, kematian adalah bentuk pengorbanan manusia.
sumber : http://doks.indonesiakuno.com/kejamnya-hukuman-zaman-batavia/
0 komentar:
Posting Komentar